Memacari Kekalahan


--Menyambut Manis Sebuah  Kekalahan--

Siapa yang tidak senang mendapatkan sebuah kemenangan, terutama kemenangan dalam sebuah kompetisi? I bet you all say "Definitely I am happy and proud to be the winner!" I agree 100% most of you are very pleased and greatly hope to be a winner in a competition. In order to be that, you try hard, do the rehearsal seriously and regularly. How if you lose? Bagaimana jika kalah? Oh, No...

Kemenangan dan kekalahan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam ajang perlombaan.  Siapa menyebar benih akan menuai padi. Setiap kerja keras pasti ada hasilnya. Sangat membanggakan bila kita sudah berusaha keras dengan mengerahkan waktu, tenaga, intelektualita, do'a dan biaya, lalu kita bisa menuai padi atau menikmati hasil kerja keras dengan hadiah-hadiah. Tidak ada masalah bagi yang meraih kemenangan. Kebanggaan, manisnya rasa keringat, adalah buah panjang yang tidak akan habis dalam waktu dekat; orang tua, kerabat, rekan, institusu di mana kita berada, hingga atasan-atasan dapat mencicipi kemenangan kita, at least, menjadi bahan perbincangan ringan saat ada kesempatan. "Oh, pemenangnya itu temanku/bawahanku/anakku/orang yang kukenal," dengan aura membersih kebanggaan. Bagaimana dengan "the loser"?

Tentu wajar jika situasi sebagai "the loser" berbeda dengan pemenang. Sebagai seseorang yang berpengalaman dalam menuai kekalahan, saya sangat memahami selaksa rasa yang dibawa atau dipendam oleh 'pengalah'. Kecewa, sedih, lemas, marah, putus asa,  bahkan malu. Pernah saya ditunjuk oleh guru saya waktu SD dan SMA untuk mengikuti lomba membaca puisi dan kalah. Waktu SD saya tidak sedih atau kecewa, seingat saya waktu, saya hanya disuruh membaca puisi di sekolah, lalu oleh guru saya diantar ke sutau tempat di mana ada banyak anak-anak seusia membaca puisi. Saya tahu saya tidak termasuk yang mendapatkan piala dan tepukan tangan meriah, tapi saya cuek-cuek saja, la wong saya hanya disuruh membaca tulisan bernama puisi ya saya lakukan. Tidak ada contoh atau petunjuka bagaimana seharusnya saya membaca tulisan itu. Berturut-turut waktu SD saya disuruh mengikuti lomba seperti siswa teladan, dokter kecil, cerdas cermat, dan qiroah. Semuanya, kalah! Jujur, dasar saya yang cuek atau belum memahami makna lomba dan kemenangan, atau para pembimbing saya yang hanya asal tunjuk, saya jalani saya 'lomba-lomba' itu tanpa beban dan tanpa kekecewaan.

Waktu SMP hal serupa juga terjadi. Di usia itu saya mulai mengenal maksud dari lomba, yaitu untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan berarti piala, piagam, tepukan tangan, senyuman orang-orang menatap kita, pujian, dan uang jika ada. Lomba yang saya ikuti (tepatnya disuruh ikut) masih lomba membaca puisi tingkat kecamatan. Kami berempat waktu itu dari satu yayasan. Saya masih belum bisa paham mengapa saya termasuk yang ditunjuk. Dalam pandangan saya waktu itu, salah satu dari empat anak waktu itu, ada satu siswa yang diperlakukan istimewa oleh guru. Maksudnya, guru lebih banyak memberikan motivasi pada siswa itu, lebih banyak bercakap-cakap dan memujinya, seolah kami bertiga hanya cheerleader saja. Hasilnya, kami berempat tak satupun yang juara (hehehehe). Di sekolah menengah pertama itu, tidak sengaja saya juga ikut lomba menjadi pembawa acara.  Seingat saya, saya mau ikut karena di sekolah saya, tidak ada satupun siswa mau mengikuti cabang-cabang lomba yang diadakan yayasan. Saya pede saja ikut lomba itu meskipun saya tidak dibimbing, tidak tahu menahu kita-kiat membawakan acara dengan baik, dan peserta lomba dicampur antara siswa SLTP dan SLTA yang semuanya berjumlah sekitar 10 sekolah. Malangnya, sebagai peserta terkecil tanpa supporter, tanpa bimbingan, saya mendapat nomor urut 1! Saat diumumkan, saya menjadi juara ke-3! Apakah saya senang? Tidak. Mungkin karena tidak ada hadiahnya. :(

Waktu SMA, kekalahan-demi kekalahan dalam ajang lomba seperti menyanyi, qiroah, dan lagi-lagi membaca puisi, seolah mengingatkanku, sudahlah, jangan pernah lagi mau mengikuti lomba. isin nek kalah. Feel ashamed if you lost. Saking malunya waktu itu, saya pernah mengembalikan uang untuk pendaftaran lomba membaca puisi pada guru yang menunjukku agar ikut lomba. Kapok deh! Oh, ya, ketika lomba itu, saya berkompetisi dengan pembaca-pembaca puisi yang luar biasa seperti seniman, gayanya edan-edan dan spektakuler penampilannya. Event itu memberi pengalaman bahwa membaca puisi itu harus percaya diri dan berani edan! And that's not my style. Meskipun saya kapok mengiktu ajang perlombaan, naluri untuk mengetahui "siapa diriku" melalui kompetisi tetap saja merembes. Suatu ketika sekolah mengadakan lomba menulis cerpen, pemenang lomba akan diminta membacakan cerpennya di lapangan usai upacara dan mendapatkan hadiah. Waktu itu, saya lagi jatuh hati pada seseorang dan ingin bisa menyampaikan isi hati saya pada sang kakak kelas yang membuat hati saya tiap hari disinari purnama (weleh...) dan ajang lomba menulis cerpen itu sepertinya kesempatan buat saya untuk mendeskripsikan hati yang yang purnama itu. Lalu, saya menulis cerpen dengan sepenuh hati dan perasaan, dan menjadi pemenang! 

Akan tetapi, ketika saya diumumkan menjadi pemenang, bukan kegembiraan yang saya rasakan. Saya justru takut kalau harus benar-benar membacakan cerpen itu di depan umum, terutama di depan dia! Oh... Kenapa kalah dan menang selalu saja dilematis buat saya?

---

Andai aku baca cerpenku yang dinyatakan menang itu, dia akan tahu isi hatiku yang tengah kusembunyikan rapat-rapat. Pasti sangat memalukan orang lain dapat dengan jelas membaca rahasia-rahasia hati kita bukan? Dan aku takut, jika dia tahu, dia bakal semakin asing dan menjauhiku karena dia tidak mau membuka hatinya seperti aku membuka hatiku padanya. Ah...aku bernapas lega ketika bapak guru yang mengumumkan nama-nama pemenang lomba tidak memintaku membacakan cerpenku. Beliau hanya memberiku hadiah yang dibungkus kertas berwarna coklat. Teman-teman sekelasku turut gembira dengan kemenanganku. Kecuali teman sebangkuku yang tampak tidak senang dan hanya melirik saja pada isi di dalam kotak hadiah. Kami sama-sama membuka isi kotak hadiah. Sebuah pulpen pilot warna hijau yang bagus dan sebuah buku tulis bercover manis. Bagi teman-temanku benda-benda itu bukan sesuatu yang menarik. Tapi bagiku sangat berharga. Hadiah sesederhana apapun ketika diberikan sebagai penghargaan kemampuan dan jerih payah kita. Maka aku menerima dan menjaga barang-barang sederhana itu dengan penuh suka cita. Seperti hatiku bersuka cita setiap kali diam-diam aku memandang diam-diam pada si dia. Andai dia menjadi... pasti dia bukan sekedar hadiah, tapi anugerah dari Tuhan untukku. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Menyadari hal itu, sedih sekali rasanya. Ternyata kemenangan bukan sesuatu yang penting jikan kita tidak bisa memenangkan hati seseorang. Esoknya, hadiah pulpen itu pun hilang. Huh, kecewa juga. Entah siapa yang mengambilnya.


1 komentar: