Pembantaian Rintan (Cerpen True Story)



PEMBANTAIAN RINTAN


Pagi mengetuk. Pintu bumi terbuka lebar. Tampak dua ekor emprit berjingkrak di dahan pohon rambutan. Si jantan mengatakan sesuatu pada istri dan dua ekor anaknya yang masih nyaman berada di atas sarang. Kegembiraan meloncat-loncat dari wajah si jantan, istri, serta anak-anak mereka. Hari ini akan banyak bahan makanan. Keluarga burung bercicit. Ramai.
Rintan mengalihkan pandangan ke atas meja. Ia mengambil note miliknya, membuka catatan kegiatan yang akan ia lakukan. Rapat. Melayani klien. Melakukan evaluasi. Membuat laporan hasil. Schedule kegiatan selama satu minggu sudah ter-manage rapi. Ia berharap dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan itu tanpa hambatan. Meskipun, sepoi pagi membisikkan satu simponi abu-abu, kegembiraan meloncat ke lurung hatinya yang panjang dan dalam. Rutinitas pagi hingga petang yang membosankan selalu bisa di-garnish dengan taburan semangat dan optimisme. Apapun yang akan terjadi, suka ataupun duka, adalah udara yang harus ia hisap yang kelak akan bertumbuh indah.
Perempuan bertubuh kurus dan bermata sayu itu berusaha keras menyelaraskan gemuruh di dalam rongga hatinya dengan cuaca pagi yang tenang  dipenuhi cayaha. Tiga bulan terakhir ini ia perjalanan ke tempat kerja menjadi satu perjalanan yang berat. Ia seperti pergi menuju kamp pembantaian yang dipenuhi perangkat penyiksaan. Hari ini firasatnya mengatakan, pembantaian sebenarnya bakal dimulai. Ada sesuatu yang asazi dalam dirinya yang akan dicerabut paksa.
Perjalanan menuju ladang pembantaian melewati alam desa transisi. Rumah-rumah penghuni desa dibangun mengikuti trend jaman. Minimalis, atau modernis klasik. Agar terkesan berada tapi produktif, banyak penghuni rumah membangun toko di dekat istana mereka. Tunggu. Beberapa hari ini jalan-jalan yang ia lewati ditumbuhi poster-poster bergambar orang. Cantik. Ganteng. Meski hanya potret alias pas foto separuh badan, tapi wajah mereka terlihat fotogenik. Istilah yang ia mengerti sebagai berpose agar terlihat menarik dan hidup di depan kamera. Artis, foto model, selebriti, dikenal mensyaratkan nilai fotogenik pada kualifikasi profesi atau label tersebut.
Tetapi poster-poster itu bukan menginformasikan sosok artis dengan kiprah mereka sebagai entertainer. Slogan-slogan perjuangan dan janji kemakmuran tertulis di bagian bawah atau atas gambar figur yang sama sekali jauh dari karakteristik seorang pejuang ataupun pemakmur orang banyak. Beberapa orang penduduk yang berdiri di pinggir jalan, di dekat beberapa poster, menunggu angkutan umum lewat, pun acuh saja dengan  baliho-baliho itu.
Ladang pembantaian tinggal beberapa menit lagi terlihat. Rintan memelankan kayuh sepeda. Kendaraan roda empat dan roda dua melintas dari depan maupun belakang. Saat tiba di depan tugu yang berdiri di tengah jalan, terbayang kembali sosok pria muda dengan kepala berlumuran darah tergolek di pinggir jalan.
Ketika membelokkan motor, pria yang membonceng adiknya usai sekolah, dari arah berlawanan melaju sebuah truk, menabraknya, dan tubuhnya terlempar hingga membentur tembok keliling gedung kelurahan. Tembok kokoh hancur. Cerita orang-orang di pinggir jalan. Di sebelah pria itu duduk menangis tersungguk kebingungan gadis remaja kelas tiga es-em-pe. Orang-orang berdatangan, berkerumun, dan berdiri mematung. Jauh dari pria yang terluka parah dan perempuan yang menangis sesunggukan. Tampaknya mereka berpikir, tak ada yang bisa dilakukan untuk menolong. Pria itu pasti akan menemui ajal dalam beberapa menit. Perempuan adik pria itu akan menorehkann event kecelakaan itu sebagai mimpi buruk yang mengganggu dalam kehidupannya yang panjang ke depan.
Rintan sampai di belokan terakhir sebelum lima ratus meter sampai di ladang pembantaian. Ia henti sepeda. Daun-daun pohon jengkol di kebun sebelah jalan melambai digoyang-goyangkan angin. Jari-jari panjang dari pelepah-pelepah pohon kelapa, mencubit dedaunan lain yang tinggi seimbang. Di sela-sela pesta daun di pagi hari, menyeruak raja cahaya. Kecemburuan merona di wajahnya yang telah diakui semesta raya sangatlah menawan dan berjasa. Ia mencubit satu per satu dedaunan, batang-batang pohon, atap gardu, atap rumah Asih, dua baliho tepat di belokan, serta rambut Rintan yang ikal sebahu.
Tindak, Bu?”
Seorang perempuan mengenakan kaos biru lusuh, berkain sarung coklat dan kuning, dengan lilitan selendang di punggungnya, ke luar dari sebuah rumah semi permanen tidak jauh dari Rintan berhenti. Tangannya memegang piring plastik berisi nasi tanpa lauk. Pandangannya kesana-kemari menyapu sekitar.
Nggih, ” sahut Rintan singkat.
“Anak nakal. Pagi-pagi sudah merepotkan orang tua,” keluh si ibu. Ia tengah mengeluhkan adik Asih yang berusia tiga setengah tahun. Asih adalah mantan klien di bawah pengawasannya. Anak perempuan itu sebenarnya lumayan cerdas. Ia selalu antusias mengikuti sesi-sesi bimbingan yang diberikan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana namun berbobot atas ketidaktahuannya kerap mencuat dari mulut Asih yang berwajah tirus dengan nada lemah dan memendam ketidakberdayaan meskipun sorot matanya seperti lampu berdaya tinggi.
Asih seperti puluhan klien-klien lainnya yang dibesarkan di tengah keluarga yang hidup di garis kampanye. Maksudnya, aspek K adalah salah satu target favorit dalam slogan kampanye para penarik massa untuk menduduki posisi elit masyarakat, juga para idealis yang mengangankan Kemiskinan itu lenyap dari muka bumi.
Seperti sebagian kecil anak-anak lain yang tidak beruntung secara ekonomi, tapi mereka, Asih juga, diuntungkan dengan kecerdasan otaknya. Sehingga, menurut Rintan yang tes kecerdasannya menunjukkan di bawah rata-rata, anak cerdas lebih beruntung daripada anak-anak orang kaya yang tidak menggunakan otaknya. Hingga suatu saat Rintan harus menelan pendapatnya itu ketika klien-klien lain, teman-teman Rani, memberitahunya bahwa Asih terbukti diam-diam telah menggunakan dana yang dikumpulkan para klien untuk dana kegiatan sosial demi kepentingannya sendiri. Wajah lugu Asih berubah seperti bulan usai senja dikerubuti jutaan lalat di depan Rintan. Siapa bilang hanya petinggi negeri yang bisa korupsi?
“Asih di mana?” tanya Rintan pada perempuan yang masih sibuk mencari anaknya untuk disuapi.
“Di dalam.” Wajah itu memberi isyarat ke arah pintu rumah yang sederhana. Dari luar terlihat pemandangan di dalam rumah, kumuh dan pengap.
“Kemarin baru pulang dari Hongkong. Sudah tiga tahun di sana.” Kebanggaan tersirat di wajah ibu Asih. Amat langka nasib yang dialami putrinya bisa berada dan bekerja di negara maju dan modern. Gadis-gadis seusia Asih di desa, kalau tidak melanjutkan sekolah, paling-paling hanya di rumah, menikah, atau bekerja sebagai pembantu di Jakarta. Sedangkan putrinya? Ia sangat bangga padanya.
“Oh, begitu,” kata Rintan. Ia menaiki sepedanya kembali. Ketika hendak mengayuh, terlihat olehnya seorang gadis melintas dari rumah Asih melewati Rintan, lalu berjalan menyebrang ke depan gardu sebelah jalan, dan duduk di bangku. Gadis berpenampilan kosmopolit, sebuah ipad di tangan, dan head set di kedua telinga, dan dua buah handphone menyembul di saku celana jeans pendek yang dikenakannya. Kulitnya masih coklat seperti dulu. Pipinya telah sedikit menggembul dibanding dulu. Sorot mata berdaya lampu tinggi meredup, meski senyum yang sesekali mengembang sambil jari jemarinya bergerak menyentuh layar ipad.
Mungkin karena sibuk dengan peralatan canggih yang ia bawa, atau karena ia berpura-pura, lupa, atau hendak memamerkan apa yang dimilikinya, Asih tidak menyapa Rintan. Mungkin juga karena ia  tidak mengenali mantan konselor bahasanya itu.
Sepeda Rintan kembali melaju. Semakin dekat. Semakin dekat.
Ladang pembantaian terlihat dari belasan meter.

*

Ruang yang dipilih cukup terpilih. Sesuai selera para pembantai yang menyukai kesan-kesan harmoni. Satu set kursi sofa yang empuk bermotif garis warna terakota dengan kerangka dari kayu jati yang diplistur sangat halus. Di tengahnya, sebuah meja dihiasi dua vas bunga mawar kecil warna-warni dan tiga toples cantik berisi roti kering ringan untuk hidangan. Hiasan dinding ruangan hanya beberapa foto ukuran 15 R berbingkai kayu sederhana namun halus. Foto-foto tersebut mendokumentasikan wajah-wajah penguasa yang pernah memimpin ladang itu selama dua dasa warsa. Di sebelah kanan mebel sofa, berdiri sebuah etalase kayu jati yang tinggi dan selebar dinding sebelah utara. Di tempat itu disimpan sekaligus dipajang benda-benda tanda penghargaan atas prestasi yang pernah diraih para penguasa selama mengendalikan ladang jasa bagi para klien di sekitarnya. Penghargaan itu sangat penting bagi eksistensi ladang.
Rintan dikawal masuk ke ruangan itu oleh seorang pegawai berparas lembut meski usianya menua. Dengan suara lembut pula ia mempersilahkan Rintan masuk.
Presiden, wakil presiden, dan para staf ahli ladang telah menunggu.
Entah siapa yang akan memulai memecutkan pembantaian, tapi pasti perempuan di sofa dekat pot tanaman berdaun lebar dan rimbun itu, yang dikenal paling berwibawa dan paling menentukan roda perjalanan ladang. Dia staf ahli pengelolaan operasional ladang, berusia lima puluh tahun, dan penyandang penghargaan prestasi terbanyak dari satu penguasa ke penguasa.
“Kita mulai saja, Pak Presiden,” katanya berwibawa. Sang Presiden mengangguk.
“Bapak dan Ibu yang terhormat,” sambut staf ahli pengelolaan ladang. “Tahun ini kita dikejutkan dengan tindakan salah satu karyawan kita, Saudari Rintan Pangestuti yang telah melaporkan Bapak Presiden kita ke Petinggi yang Tertinggi, bahwa Bapak Presiden kita telah berlaku tidak adil terhadap Saudari Rintan Pangestuti. Laporan yang tidak disertai bukti itu telah berakibat sangat negatif pada Ladang Kerajaan. Akibat tindakannya, nama kerajaan ladang kita menjadi tercemar dan dikhawatirkan dalam waktu dekat akan menurunkan kredibilitas ladang di mata rakyat,” Ibu Staf Pengelola menatap sekilas wajah Rintan dengan tatapan tajam. Rintan menatap balik, tanpa ekspresi.
“Hari ini kami akan memutuskan tindakan resmi atas ulah Saudari Rintan.”
Peserta pembantaian semua terdiam, menarik nafas, dan diam-diam membentur-benturkan kontradiksi pikiran dan hati. Hanya Bapak Presiden yang terlihat sangat yakin dengan apa yang akan diputuskannya. Wajahnya berwarna kecoklatan bercampur merah serta merta.
“Sebelum keputusan dibacakan, sebagai langkah normatif sebelum pengambilan tindakan, kami akan menginterogasi Saudara Rintan atas pernyataan-pernyatannya yang merugikan Ladang. Kepada Bapak Staf Ahli Pengembangan Sumber Daya Tenaga Kerja, silahkan untuk mengawali interogasi.
Yang disebut jabatannya bergerak di tempat duduk. Wajahnya menatap Rintan.
“Apa benar Saudara mengirimkan surat pengaduan kepada Petinggi yang Tertinggi?”
“Tidak benar,” jawab Rintan singkat.
Staf alih pengembangan SDTK mengangkat alis, menatap Rintan dengan mata terbelalak. “Tidak benar? Lalu apa yang Saudara kirimkan?
“Surat Permohonan Pindah Tugas.”
“Pindah?”
Rintan mengiyakan.
“Apakah saudara tidak tahu bahwa ladang ini satu-satunya Ladang Hidup?”
“Tahu, Pak.”
“Aneh, mau pindah ke mana?”
“Ke Ladang lain yang dipimpin oleh pemimpin yang adil, berperi-kemanusiaan, proposional dan objektif dalam menilai bawahan, dan memandang semua orang adalah aset positif kerajaan sehingga harus diperlakukan dan diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya, serta tidak berkata ataupun berlaku sewenang-wenang pada bawahan yang tidak disukainya.”
Si ahli pengembangan tertawa, diikuti semua peserta pembantaian, kecuali Ibu Staf Ahli Pengelolaan Ladang. Ia hanya menarik bibirnya sedikit lalu meminta seluruh hadirin fokus pada pertanyaan berikutnya sambil memberi isyarat pada staff ahli SDTK untuk melanjutkan interogasi.
“Jadi kau meminta persamaan hak di Ladang ini?”
“Salah satunya, iya.”
Semua tertawa tanpa kecuali.
“Apa kau cukup sepadan disamakan dengan kami?”
“Iya.”
Terdengar lagi tawa.
“Apa kesepadanan Anda dengan kami?”
Rintan diam sejenak.
“Pendidikan, kedudukan di mata hukum, kedudukan di mata Tuhan, warga dari kerajaan ini yang memiliki hak dan kewajiban, dan, kita sama-sama cari makan.”
Pecah tawa raja.
“Sudah, jangan memperpanjang bincang lancang. Segara berikan surat pemecatan kepada makhluk tak tahu diuntung itu!” Raja bangkit dari duduknya. Tanpa menatap wajah-wajah anak buahnya, ia bergerak meninggalkan lobi.
Ibu pengelola kerajaan menutup map terbuka di atas meja. Staf-staf ahli satu per satu pergi.
“Ibu Rintan, anda harus bersabar dan legawa. Kita ini hanya bawahan, janganlah banyak bicara, kerjakan saja apa yang menjadi tugas kita.”
“Bu Pengelola, apa selama ini saya tidak mengerjakan tugas saya? Apa ibu tidak bisa melihat bawahan yang rajin melaksanakan tugas dan bawahan yang rajin mondar-mandir karena kekurangan tugas? Saya tidak menuntut apapun selain diperlakukan secara adil dan proposional, sama seperti yang lainnya. Kalaupun saya bermimpi, saya hanya berharap pimpinan serta jajaran tim ahli di sini, barisan orang-orang profesional, berpendidikan, berkedudukan karena dianggap lebih kompeten dibanding lainnya, menunjukkan bahwa dewan-dewan ini layak untuk dihormati dengan menghormati bawahan dan hak-hak mereka untuk berkembang, tidak dipasung dengan imej-imej negatif dari mulut-mulut kalian yang tidak mau kehilangan jabatan.”
Rintan men-jeda.
“Baiklah, Bu. Jika memang saya dipecat, silahkan. Saya juga tidak bisa bertahan lagi menyaksikan orang-orang bermuka dua, tidak memiliki komitmen terhadap kebenaran dan melayani klien, dan mementingkan kepentingannya sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan klien.”
“Sabar Bu Rintan, renungkan baik-baik efeknya kalau Bu Rintan dipecat.”
“Apakah Bu Pengelola mengkhawatirkan nasib saya dan anak-anak saya yang kelak tidak bisa makan jika saya dipecat? Terimakasih empatinya.” Rintan berdiri.
“Sebentar, Bu, mari kita bicara baik-baik...” cegah Bu Pengelola. “Sebenarnya apa yang dikatakan Sang Presiden kepada Bu Rintan hingga Bu Rintan semarah itu?”
Rintan menarik nafas. Rasa sakit yang telah dilupakannya terasa kembali saat ia mengingatnya.
“Maaf, Bu. Saya sudah berusaha melupakannya.”
“Bagus. Lupakan saja, dan kembali bekerja seperti biasa. Itu yang terbaik.”
“Dengan resiko hak dan kredibiltas saya sebagai bawahan selalu di-nolmerahkan? Aneh Ibu Pengelola dan semua staff ahli di sini. Kalian mendakwahkan kebaikan, keharmonisan, kesantunan, profesionalisme, tapi sebenarnya kalian mengagungkan egoisme, selera, dan kepentingan kalian sendiri. Yang kalian suka, kalian angkat setinggi langit, yang tidak kalian suka, kalian cari-cari kesalahan mereka hingga titik paling memalukan dan melupakan koreng-koreng di muka kalian sendiri.”
“Bu Rintan!” Wajah Bu Pengelola merah padam. “Apa sebenarnya yang anda katakan? Apa bukti dari pernyataan-pernyataanmu itu? Jangan asal bicara.”
“Maafkan saya kalau kata-kata saya terdengar kasar. Hanya kata-kata itu yang saya miliki. Untuk pembuktiannya, saya hanya menyarankan, Kerajaan Ladang ini semestinya mempekerjakan Juru Catat. Angkat seorang staf ahli bertitel Juru Catat yang bertugas mencatat hasil-hasil rapat, musyawarah, konvensi, atau apa saja kebijakan yang dilakukan pimpinan dan para staf ahli apa adanya tanpa rekayasa ataupun dalih-dalih untuk mengamankan kepentingan masing-masing. Juru Catat itu juga seyogyanya mencatat kelemahan, kelebihan dan dampak dari pelaksanaan suatu kebijakan dan keputusan, catat juga kinerja semua pihak di ladang Ladang ini, tanpa pandang bulu, tanpa terkecuali. Atau, mari kita berhati-hati dengan Juru Catat Tuhan, Rakib dan Atid yang setiap saat setiap detik mengikuti kita dan kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Hakim Konstitusi Yang Maha Adil.  Saya akan mengemasi barang-barang saya. Permisi.“
Rintan membuktikan kata-katanya. Ia mengemasi barang-barang di loker dan meja kerjanya. Para punggawa Ladang yang sekantor menatapnya dengan diam, seolah mereka tidak tahu menahu apa yang terjadi. Beberapa di antara mereka melempar pandang sambil tersenyum sinis sekaligus gembira. Lalu terdengar lontar-lontar sindiran diiringi gelak tawa. Tak satupun dari mereka mendekatinya, menunjukkan rasa simpati sebagai saudara seagama ataupun sesama manusia. Mereka lupa Rintan pernah berbuat sesuatu untuk mereka. Memberi sesuatu pada mereka. Si Kupu-Kupu Kuning pernah lulus sebagai tenaga profesional karena meng-copy paste seluruh hasil karyanya dan diakui miliknya. Perempuan lain bernama Kupu-Kupu Biru menduduki posisi penting atas promo track-record-nya pada Sang Presiden. Si Rama Kumbang yang pernah tergolek sakit dan bersemangat kembali untuk melawan penyakit setelah Rintan menjenguknya, asyik bercengkerama dengan notebooknya dan sesekali menimpali kelekar punggawa lain sehingga memancing gelak tawa yang semakin riuh.
Ah. Inilah pembantaian sosial. Apa bedanya dengan pembantaian atas penduduk minoritas yang tertindas perang di belahan bumi nun jauh di sana?
Namun selalu ada keberuntungan yang mengiringi kisah tragis. Anak sahabatnya dari Timur Tengah yang mati terbunuh ledakan bom sesungguhnya beruntung mendapatkan jalan cepat ke surga menemui Sang Maha Cinta meskipun kita memandangnya sangat miris dan menderita. Hal lain yang terbalik bisa dilihat dari sudut yang mayoritas orang menutup mata. Sosok yang di-elu-elukan karena kewibawaan, kehormatan, kedudukan, kekayaan, kepandaian, dan digadang-gadang menjadi satria piningit yang akan mengangkat harkat martabat dan kesejahteraan kaum marjinal, bisa jadi adalah penjahat bagi sekelompok minoritas yang tersakiti, terdzalimi, yang do’a mereka justru didengar oleh Sang Khalik. Tapi Rintan, perempuan di jelang manula, sangat merasa beruntung berada di persimpangan kemakmuran dan kemiskinan, kebodohan dan kelicikan. Tak percuma menjadi sebutir debu di antara kontradiksi. Ia, dengan keterbatasannya, menemukan celah yang mana yang harus ia lalui, tanpa kehilangan identitas diri sebagai dirinya.
Perempuan kurus bermata sayu berjalan mengangkat satu dus besar berisi barang-barang miliknya, melewati beberapa kerumunan punggawa denga aktivitas keprofesionalan masing-masing; budget engineer alias ahli rekayasa keuangan, engineering-work alias kerja rekayasa, engineering program alias program rekayasa, engineering gossip alias gosip rekayasa dan sebagainya dan sebagainya.
Dus kertas itu ia ikat dengan satu bundel tali rafia di atas boncengan sepeda. Dengan enteng, Rintan mengayuh kedua pedal meninggalkan Ladang yang telah melupakan hampir dua windu ia mengucurkan keringatnya tanpa tanda jasa, kwitansi, ataupun sekedar ucapan selamat jalan dari rekan-rekan yang bersamanya membesarkan Ladang.
Dunia masih berputar. Ia masih melihat terik matahari sebentar lagi menghanguskan Ladang dengan terangnya yang amat terang. Ia masih melihat dirinya sanggup mengayuh sepeda, sanggup mengangkat tubuhnya sendiri, dan tidak diragukan lagi ia bakal sanggup melanglang buana mencari Ladang lain untuk bercocok keringat.

#####end####

Sumbang, 11 September 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar